Rabu, 03 April 2013

"Seserahan" terindah


Sebuah cerita tentang masa depan, bagaimana cita-cita menjadi hal yang sangat diagungkan dan dibentuk serta diukir sedemikian rupa hingga membekas dalam dada.
Dimana kebahagiaan menjadi tujuan hakiki dari kehidupan yang aku jalani, kebahagiaan yang sejatinya sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana makna dan substansinya, kebahagiaan yang hanya mampu kuartikan sebagai kesenangan dalam bentuk duniawi dalam segala retorika dan fenomenanya.
Kebahagiaan dalam arti yang ku peroleh dari kawan, sahabat dan kerabat yang berada di sekitarku.

Aku hanyalah orang biasa, terlahir dari keluarga biasa-biasa saja.
Ayahku bukanlah keturunan bangsawana ataupun hartawan, ibuku pun demikian adanya, beliau bukanlah dari jalur darah biru yang bergelimang harta.
Ayahku hanyalah seorang pekerja, bukan pegawai negeri ataupun orang kantoran. Ayahku yang selalu mengusahakan bagaimana terciptanya kesejahteraan bagi anak-anaknya yang dikasihi. Pekerjaan yang selalu mengurai kekuatan dirinya dan merapuhkan fisiknya dari waktu ke waktu dengan semakin bertambahnya usia yang kian menua.
Sedang ibuku, adalah seorang ibu rumah tangga dengan segudang cita-cita membesarkan anaknya, dalam didikan yang terbaik menggunakan metode yang beliau punya.

Aku adalah seorang perempuan, dengan  paras yang tidak jelek tidak pula super cantik. Namun sebagian orang yang dekat denganku, mengatakan bahwa aku adalah cantik, yah hanya cantik saja.
Aku terlahir di sebuah perkampungan di Pulau Jawa (Kota dan Propinsi sengaja tidak disebutkan_red)
Aku terlahir di zaman yang "katanya" moderen. Zaman dimana modernisasi lebih berkiblat kepada "westernisasi", zaman dimana budaya barat menjadi acuan dalam segala tindak tanduk dan tingkah polah perbuatan sehari-hari.
Zaman yang memproklamirkan bahwa tidak gaul dan fungky jika tidak seperti amerika dan tetangga-tetangganya di negara eropa.

Aku adalah seseorang dengan gelar sarjana, yang untuk meraihnya harus memeras keringat dari orang tuaku yang kian renta.
Pada masa kuliahku, aktivitasku berkutat pada perkuliahan, perpustakaan dan kontrakan, sebab aku menempuh studi perguruan tinggiku di luar kota yang jauh dari rumah mungilku di desa.
Dalam aktivitasku, sesekali "refreshing" dengan pergi ke Mall atau pusat perbelanjaan, meski hanya untuk membeli es krim dan melihat-lihat ramainya suasana kota, dan hanya sesekali berbelanja membeli kebutuhan sehari-hari.
Terkadang aku merasa iri dengan sebagian besar kawanku yang terlahir dari kalangan bangsawan dengan harta yang melimpah ruah, barang-barang mewah.
Dari keadaanku yang serba "kekurangan" inilah maka aku memiliki sebuah cita-cita yang besar untuk menjadi sukses dan mampu menghidupi diri dan memenuhi segala kebutuhan dan keinginan yang muncul dalam diri.


Keseharianku aku isi dengan belajar belajar dan belajar, serta mencoba membangun jaringan untuk infestasi masa depanku, setidak-tidaknya setelah selesai kuliah.

Semakin luasnya jaringan yang aku usahakan, maka semakin banyak pula kenalan dan kolega yang aku miliki.
Berbagai kalangan orang yang aku kenal, dosen, pejabat, pekerja kantoran, pegawai negeri dan sesama mahasiswa.

Hingga suatu hari, seorang kenalanku, Setelah sekian lama tidak berkomunikasi baik melalui telepon maupun bertatap muka.Dia kakak kelas di bangku kuliahku, yang tiba-tiba muncul dan menjalin komunikasi kembali denganku.
Dia seorang guru di sekolah swasta dengan gaji yang aku tahu pasti tidak seberapa, mungkin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari itupun sudah dengan pola hidup yang sesederhana mungkin.
Dia adalah seorang yang kharismatis dalam penilaianku, baik dan selalu membuat orang lain senang. Dia juga selalu menjadi "tempat sampah" dimana aku dan temanku yang lain selalu berbagi unek-unek dan problematika yang menyerang kami.
Seseorang yang tidak sedikitpun terlintas dibenakku untuk menjadikannya sebagai pendamping hidup. Seseorang yang tidak pernah aku bayangkan akan aku cintai dalam segenap aktivitasku.

Dalam penggalan percakapan yang kami lakukan melalui telepon, dia menanyakan hal yang saat itu menurutku sangat menggelikan. Dengan santainya dia berujar, "Dhe, mau gak menikah dengan saya!".
Saat itu aku fikir ini orang gendeng atau gila, mengajak nikah selayaknya mengajak jalan untuk makan. Kemudian dia menegaskan dengan kalimat: "Saya serius mengajak kamu menikah, kalo memang adhek berkenan, maka saya akan temuai keluarga adhek untuk mengutarakan maksud saya!".
Aku berfikir, jika aku menikah dengan kakak kelasku yang hanya seorang guru swasta, maka apa yang akan dia berikan kepadaku? Sedangkan untuk menghidupi dirinya saja sepertinya harus menghemat sedemikian rupa. Bukan bermaksud menjadi kaum Hedonis dan materialistis, namun setidak-tidaknya "suamiku" kelak yang akan menghidupi aku dan anak-anakku. Dengan materi yang diperolehnya dari tempat bekerja. jika seperti ini, bagaimana dengan nasib anak-anak kami kelak? Apakah akan sama seperti aku yang hidup dalam keterbatasan materi, bahkan bisa juga disebut kekurangan?
Aku membuat sebuah pertanyaan untuknya: "Apa yang akan kakak berikan untukku jika kakak menikah dengan aku?".
Sebuah pertanyaan yang mungkin akan membuat sebagian orang SHOCK dan tak mampu berbuat apa-apa?
Dia terdiam, tak mengatakan sepatah katapun, dan akupun melanjutkan kalimatku, "Ka, ketika aku menikah kelak, aku tidak ingin dan tidak mau untuk diajak SUSAH, aku ingin hidup bahagia selayaknya orang lain memperoleh kebahagiaan yang mereka cita-citakan"

Dengan nada yang sangat lembut dia bertanya kepadaku: "Kebahagiaan apa yang kamu cita-citakan untukmu, anak-anakmu kelak, dan kehidupan yang akan kamu jalani?".
"Ya kebahagiaan dimana segala kebutuhan hidup terpenuhi ka, dimana aku bisa membahagiakan anak-anakku kelak dengan memenuhi segala apa yang dibutuhkan, dari pendidikan, sandang, pangan, papan dan sedikit kebutuhan refreshing untuk mereka!" Jawabku saat itu.
Aku berfikir, dia pasti patah arang mendengar jawaban yang aku berikan ini.

Dan masih dengan sikapnya yang seperti biasanya, santai dan kalem dia menjawab: "Dhe, jika adhek mau menikah dengan saya. Saya tidak akan menjanjikan apapun untuk kehidupan kita kelak, saya juga tidak bisa menggaransikan bahwa apa yang adhek butuhkan dapat terpenuhi dengan baik. Namun, saya hanya akan mengusahakan satu hal untuk kita, masa depan kita dan anak-anak kita."
Sepenggal kalimat diplomatis yang meluncur di sela-sela pembicaraan kami.
"Apa itu kak?" Tanyaku penasaran.
"Dhek, jika memang kita berjodoh kelak, saya hanya ingin memberikan atau mengusahakan untuk adhek, SHALAT BERJAMA'AH LIMA WAKTU DENGAN ADHEK, hanya itu yang akan saya usahakan kelak, insya Allah...!!!"

Aku tercekat, terdiam tak kuasa mengucapkan sepatah katapun, tiba-tiba prinsip kebahagiaan yang selama ini aku bangun, runtuh luluh lantak seperti terhantam gada besar.
Seketika itu, Hilang sudah keinginan materialistis, lenyap sudah gambaran keindahan metroseksual kaum ibukota.
Begitu simpelnya cara pandang kakak kelasku ini, bukan materi bukan pula kedudukan dalam bentuk jabatan dan pangkat yang menjadi standar kebahagiaan yang dicita-citakannya.

HANYA INGIN SHALAT LIMA WAKTU BERJAMA'AH BERSAMA ISTRI DAN ANAK-ANAK, itu yang dia cita-citakan untuk masa depannya.

Subhanallah, sebuah cita-cita yang sama sekali tidak pernah terfikirkan dalam otak bebalku. Sebuah kalimat yang tidak pernah terlintas sedikitipun akan terlontar dari seseorang yang aku anggap biasa-biasa saja.
Aku malu, bukan kepada dia kakak kelasku, namun kepada diriku, nafsu dan keinginan duniawiku. Malu kepada Allah, sebab lebih menginginkan dunia-Nya dari pada sang pemilik dunia.
Malu kepada para sahabat Rasul, yang mengimpikan selalu dekat dengan kekasih Allah dengan membuang segala bentuk materi yang dimilikinya.
Sedangkan aku, memburu dunia, dalam segenap gemerlapnya yang hanya berupa bentuk fatamorgana.

Kawanku, sahabatku, teman-temanku, hidup yang kita jalani, kitalah yang menentukan arahnya.
Apakah akan ke Allah atau ke dunia yang sejatinya dalam kuasa Allah.
Hidayah Allah selalu mengucur dalam kehidupan kita, namun kesediaan hati kita untuk menerima hidayah itulah yang menjadi penentu arah hidup kita.
Semoga Allah selalu menolong kita, dengan memberikan kekuatan kepada kita untuk selalu istiqomah di jalan-Nya.
Nastaghfirullah 'ala kulli ma laisa anta ya Allah
Kami memohon ampunan atas tiap hal yang selain engkau ya Allah ya Rabbal 'alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Join di BLOG
Terima Kasih atas partisipasinya