Sebuah cerita tentang masa depan, bagaimana cita-cita menjadi hal yang sangat diagungkan dan dibentuk serta diukir sedemikian rupa hingga membekas dalam dada.
Dimana kebahagiaan menjadi tujuan hakiki dari kehidupan yang aku jalani, kebahagiaan yang sejatinya sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana makna dan substansinya, kebahagiaan yang hanya mampu kuartikan sebagai kesenangan dalam bentuk duniawi dalam segala retorika dan fenomenanya.
Kebahagiaan dalam arti yang ku peroleh dari kawan, sahabat dan kerabat yang berada di sekitarku.
Aku hanyalah orang biasa, terlahir dari keluarga biasa-biasa saja.
Ayahku bukanlah keturunan bangsawana ataupun hartawan, ibuku pun demikian adanya, beliau bukanlah dari jalur darah biru yang bergelimang harta.
Ayahku hanyalah seorang pekerja, bukan pegawai negeri ataupun orang kantoran. Ayahku yang selalu mengusahakan bagaimana terciptanya kesejahteraan bagi anak-anaknya yang dikasihi. Pekerjaan yang selalu mengurai kekuatan dirinya dan merapuhkan fisiknya dari waktu ke waktu dengan semakin bertambahnya usia yang kian menua.
Sedang ibuku, adalah seorang ibu rumah tangga dengan segudang cita-cita membesarkan anaknya, dalam didikan yang terbaik menggunakan metode yang beliau punya.
Aku adalah seorang perempuan, dengan paras yang tidak jelek tidak pula super cantik. Namun sebagian orang yang dekat denganku, mengatakan bahwa aku adalah cantik, yah hanya cantik saja.
Aku terlahir di sebuah perkampungan di Pulau Jawa (Kota dan Propinsi sengaja tidak disebutkan_red)
Aku terlahir di zaman yang "katanya" moderen. Zaman dimana modernisasi lebih berkiblat kepada "westernisasi", zaman dimana budaya barat menjadi acuan dalam segala tindak tanduk dan tingkah polah perbuatan sehari-hari.
Zaman yang memproklamirkan bahwa tidak gaul dan fungky jika tidak seperti amerika dan tetangga-tetangganya di negara eropa.
Aku adalah seseorang dengan gelar sarjana, yang untuk meraihnya harus memeras keringat dari orang tuaku yang kian renta.
Pada masa kuliahku, aktivitasku berkutat pada perkuliahan, perpustakaan dan kontrakan, sebab aku menempuh studi perguruan tinggiku di luar kota yang jauh dari rumah mungilku di desa.
Dalam aktivitasku, sesekali "refreshing" dengan pergi ke Mall atau pusat perbelanjaan, meski hanya untuk membeli es krim dan melihat-lihat ramainya suasana kota, dan hanya sesekali berbelanja membeli kebutuhan sehari-hari.
Terkadang aku merasa iri dengan sebagian besar kawanku yang terlahir dari kalangan bangsawan dengan harta yang melimpah ruah, barang-barang mewah.
Dari keadaanku yang serba "kekurangan" inilah maka aku memiliki sebuah cita-cita yang besar untuk menjadi sukses dan mampu menghidupi diri dan memenuhi segala kebutuhan dan keinginan yang muncul dalam diri.